Thursday, February 16, 2012

Senyumlah Pada Bumi*

Tuhan, apapun namaNya, bicara kepada saya lewat cerpen Sutardji Calzoum Bachri, 'Senyumlah Pada Bumi':
"Hidup haruslah tersenyum", kata kakek tersenyum.


Pernah saya nekat ingin mencoba ngelmu kepada Om saya yang tinggal di Wonosobo. Saya siap dengan syarat-syaratnya semisal puasa dan sebagainya. Tapi beliau cuma menganjurkan saya untuk banyak-banyak tersenyum. Saya sempat sepele. Tapi ternyata itu adalah level pelajaran yang sulit.

Dan malam ini dari rak buku saya yang berdebu, saya temukan sepotong affirmasi tentang betapa hebatnya 'senyum'. Saya ketikkan dan saya publikasikan dengan menimbang betapa indahnya ini untuk dibagikan. Terimakasih SCB, mohon izin sebelumnya, Pak!

SENYUMLAH PADA BUMI
Cerpen oleh Sutardji Calzoum Bachri
*(dari kumpulan cerpen 'Hujan Menulis Ayam')

"Jadi, kau minta berhenti karena mereka tak lagi bisa tersenyum?" kata ayah, menggelengkan kepala.
Kalau mereka tidak bisa lagi membayarkan kuitansi dari apotik untuk obat-obatku, itu tak jadi soal.
Mereka memang tidak mampu. Perusahaan sudah makin gawat, hampir bangkrut. Aku tahu. Mereka mengerutkan kening melihat kuitansi. Terlalu mahal, kata mereka. Perusahaan tidak bisa membayar, kata gadis bagian keuangan, mengernyitkan kening. Mengapa mereka tidak tersenyum, atau ketawa saja ha ha ha menolak kuitansi itu?

"Nah masa depanmu akan menjadi gelap mulai sekarang," kata ayah, muram.

Kakek menggoyang-goyang tubuhnya di kursi malas, menghembus pipanya, tersenyum ke langit-langit dan jendela.

"Hidup haruslah tersenyum," kata kakek tersenyum.

Kakek sudah lama hidup dan selalu senyum dan ayah sering menjadi gusar karenanya.

"Hidup haruslah tersenyum," kata kakek sekali lagi, tersenyum sambil mengisap pipanya dalam-dalam. Ayah merasa tersindir, mengernyitkan kening dan pergi ke ruang dalam.

"Sulitnya manusia, mereka payah senyum. Mereka hidup mengernyitkan kening kepada angan-angan, mimpi, keringat, dan entah apa saja. Itulah sebabnya mereka tidak sering senyum. Dan kalaupun mereka tersenyum, mereka tersenyum pada sesuatu yang tak lagi memerlukan senyum," kata kakek.

Kakek telah begitu sering tersenyum sehingga keriput di mukanya tidak bisa mengukir senyum. Waktu muda, tertawa-tawa memeluk bir atau champagne dan gadis-gadis, kakek tersenyum sepanjang jalan-jalan Marseille, Barcelona, Singapura, Hongkong, Yokohama. Kakek tersenyum duit kakek juga tersenyum dan gadis-gadis senang pada duit yang tersenyum dan mereka tersenyum mencium dan memeluk kakek yang tersenyum dan mereka mencium dan memeluk duit yang tersenyum.

Kakek tersenyum di laut. Menarik jangkar yang macet mesin tariknya. Telapak tangan kakek lecet dan banyak mengeluarkan darah, tapi kakek tersenyum dan bernyanyi-nyanyi mengecat kapal. Ketika teman kakek jatuh ke laut kakek tersenyum-senyum membiarkannya. Setelah nyawanya benar-benar tinggal sekarat kakek terjun ke laut dan mengangkatnya ke geladak dengan tersenyum. Sekali ketika kapal dipukul topan dan tidak mungkin ada harapan, kapten memerintahkan semua meninggalkan kapal. Kakek tersenyum membiarkan teman-temannya berebut sekoci. Akhirnya hanya kapten dan kakek saja yang masih di kapal. Kapten jadi gusar dan senang karena kakek masih terus tersenyum. Dan kapten menolak kakek dengan pelampung ke laut.

"Senyumlah pada gadis-gadis pada daratan pada kota-kota pada bumi pada laut pada kapal yang membawamu," kata kakek padaku, suatu waktu.

Aku mengangguk. Dan menggeleng dalam hati, tidak mengerti mengapa orang harus tersenyum, sering senyum dan semacamnya, ketika itu kau tak yakin dan belum tahu.

Tapi, di kantor ketika bos sudah sebulan tidak lagi tersenyum dan hanya mengernyitkan keningnya melamun lewat jendela, wakil bos sudah tidak pernah lagi ketawa dan kelihatan sungguh-sungguh dan menciut, dan ketika aku sodorkan kuitansi itu mereka tidak dapat membayar meskipun dengan senyum, tahulah aku bahwa orang terlalu mengerutkan kening dan badannya karena angan-angan yang patah, mengepalkan tinju dan menekankan geraham karena kesulitan dan menjadi lebih sulit karena itu. Alangkah baiknya kalau mereka menolak kuitansi itu dengan senyum atau tawa, atau gadis bagian keuangan yang manis itu berjingkrak-jingkrak sedikit sambil tersenyum atau tertawa seperti dulu sering mereka lakukan waktu perusahaan masih dapat kredit dari bank, mereka tersenyum dan tertawa-tawa menghabiskannya. Mengapa mereka tidak terus saja tersenyum dan tertawa sampai perusahaan menjual habis harta inventaris, sampai yang tinggal hanya senyum dan tawa sampai perusahaan hanya memperdagangkan senyum dan tawa? Tentu sampai mampus aku takkan minta berhenti.

Matahari mulai menunjukkan panasnya di luar. Dan aku menolong kakek mengangkat kursi malas ke pekarangan belakang.

"Senyumlah kau. Senyumlah selalu pada hidup pada bumi pada langit. Senyumlah selalu dan kau akan mendapatkan sesuatu," kata kakek sambil mengiringi aku dan mengepulkan asap pipanya ke langit dan tersenyum.

Di Barcelona kakek tersenyum pada Adelita dan dapat Isabella. Di Marseille kakek tersenyum pada Francoise dan dapat Helene. Di Yokohama kakek tersenyum pada Michiko, Hiroko dan dapat Kumiko. Di Rotterdam kakek tersenyum-senyum pada polisi dan dapat tinju, seperai putih, kasur empuk, dan istirahat seminggu di rumah sakit dengan tanggungan perusahaan kapal tempat kakek bekerja.

"Selalulah senyum, kau akan dapat sesuatu meskipun tidak selalu tepat seperti yang kau inginkan," kata kakek.

Jika matahari pagi mulai panas kakek senang duduk-duduk di pekarangan belakang, di kursi malasnya, di bawah rimbun pepohonan jambu dan mangga. Anak-anak SD yang pergi dan pulang sekolah sering singgah dulu di pekarangan. kakek memberi mereka dongeng-dongeng tentang laut, kapal, Marseille dengan tersenyum sambil mengepulkan asap pipa dan menggoyang kursi malas dengan tubuhnya. Anak-anak itu sering dan senang membantu kakek menggoyang kursi malasnya. Mereka senang karena dongeng-dongeng kakek menyenangkan mereka. Mereka senang melihat tattoo-tattoo di lengan kakek dan tertawa-tawa pada perempuan telanjang yang telentang di situ. Kakek membiarkan mereka mengusap-usapnya dan mereka jadi heran mengapa gambar-gambar itu tidak bisa hapus. Kakek membiarkan mereka melempar jambu dan mangga. Ibu sangat kuatir kalau-kalau kakek kena timpa buah-buahan atau batu yang mereka lemparkan dan sering melarang mereka. Tapi, kakek terus tersenyum dan menceritakan Marseille atau kota-kota lainnya kepada mereka dan membiarkan mereka melempar buah-buahan dan sambil tersenyum melarang ibu melarang mereka.

Bocah-bocah itu senang pada kakek dan barangkali mereka mengira kakek adalah masa tua penuh senyum yang kelak menantikan mereka.***

Friday, June 10, 2011

satu senja kita bagi dua*

kita tak bisa membagi senja
satu senja untuk satu kita
aku tahu matematika tak berlaku dalam puisi
karena rasa-bukan-logika adalah isi

kita tak bisa membagi senja, sayang
satu senja untuk satu kita
sebuah horison untuk sebongkah jingga
matahari. berbaring. merona.

hidup manusia mampir minum katanya
seperti kaki dan tanah maka melangkah saja
hingga kaki kelak berakhir menjadi tanah

maka aku mencintaimu hari ini
maka kau mencintaiku hari ini
dan besok dan besoknya lagi adalah hari ini

*) balasan untuk puisimu yang berjudul sama:

satu senja kita bagi dua


kita menemukan sepotong senja
tersimpan rapi dalam diam yang sama
kamu mengetuk ruangku
untuk tinggal dalam darahku
aku menyapa waktumu
untuk pergi bersama gelisahmu
tapi senja itu sebaiknya kita bagi dua saja
satu untuk mimpimu
satu untuk harapanku



Pada sebuah senja yang terbagi dua

kuterjemahkan matamu
di antara gerak daun yang membisu
dan kubisikkan aksara rasa dari

tempat paling hening di dunia:

di hatiku.

Thursday, June 09, 2011

Budai

Apa yang menghibur saya malam ini? Asbak rokok saya!
Saya tidak begitu faham Buddhism secara mendalam. Tapi asbak dengan sosok Buddha Tertawa ini ternyata bisa menularkan sebentuk keriangan ke dalam adanya saya. Kegembiraan berkelindan dengan si gloomy Thom Yorke dalam ruang saya.

Saya menjadi semakin berani tertawa, bahkan ketika menurut wacana umum dunia medis, saya sedang membunuh diri saya perlahan dengan rokok yang saya hisap.
Tapi siapalah yang bisa meramalkan masa depan, ketika seorang teman saya yang menerapkan pola hidup sehat sebagai investasi jangka panjang ternyata dipanggil Yang Maha Kuasa tanpa peringatan apapun? Tanpa penyakit apapun dalam medical track record-nya? Mungkin, dia tidak pernah melakukan medical check up. Sama seperti saya. Tidak. Tidak. Saya tiada maksud untuk mencibir.
Budai. He carries his few possessions in a cloth sack, being poor but content.
So let anyone dare to laugh. Kecemasan besok biarlah untuk besok saja. Walau, ya, walau, belajar risk management itu perlu. Let's laugh. Let's flow. Let the endorphine flow.

Tuesday, June 07, 2011

sepotong rasa ingin tahu, dua gumpal semangat pencarian, dan tiga karung rasa tidak gampang percaya

Nak, Bapak adalah anak zaman yang tumbuh dengan meraba-raba. Aku besar dalam kepingan imajinasi peradaban yang tidak lengkap. Aku mencerap aksara-aksara yang rentan salah-tafsir. Sekarang aku menapak bersamamu di zaman informasi dengan bongkahan-bongkahan sesal yang terucapkan melalui kalimat 'andai aku dulu mempelajari ini, andai dulu aku...".

Ah, sudahlah, aku tidak penting lagi. Yang penting sekarang adalah kamu. Tongkat estafet ini akan kulemparkan ke kamu. Sekarang, dengan teknologi komunikasi yang kita sama-sama rasakan, kamu bisa membangun imajinasi yang jauh lebih lengkap tentang peradaban. Yang kau punya sekarang tidak lagi  sekedar aksara-aksara rentan salah-tafsir ketika kau memejamkan matamu. Kau tak harus berjalan jauh untuk membuktikan dan merasakan apa yang digambarkan oleh aksara-aksara itu.

Sekarang kau cukup memiliki sepotong rasa ingin tahu, dua gumpal semangat pencarian, dan tiga karung rasa tidak gampang percaya. Jangan lagi kau hidup dalam ironi 'manusia-manusia bodoh yang hidup di zaman bertabur informasi'.

Tuesday, May 24, 2011

Tulisan Tentang Kebuntuan Menulis

Pada kesempatan ini, pada mulanya adalah foto-foto. Bukan Firman, sebagaimana awal kitab Genesis. Sungguh, menulis masih merupakan hal yang berat untuk dilakukan saat ini. Oleh karenanya saya memutuskan untuk melakukan semacam 'challenge game' untuk memulai tulisan: 'dari ketiga foto berikut, apa yang bisa saya tuliskan?'.


Apakah tentang sebuah gubuk di atas sawah yang telah dikeringkan dan tanahnya siap dijual kepada investor-investor yang memiliki impian tentang sebuah villa di Ubud pasca Eat, Pray, and Love? Tentang pecahan 100 dollar yang mereka miliki, yang bahkan biaya cetak dan biaya produksinya tak lebih dari 20 sen dollar per lembarnya*? Terus-terang saya belum punya ide spesifik tentang tulisan saya, sementara lagu-lagu di playlist sudah mengalun silih berganti.


Apakah saya akan menuliskan tentang Pantai Lebih yang rentan mengalami abrasi? Tentang harga tanah yang anjlok akibat ancaman garis pantai yang perlahan mendekat ke jalan raya? Apakah tentang teman saya sesama pencinta fotografi, dengannya saya bersepakat bahwa keindahan dan keajaiban akibat komposisi dan presisi secara sengaja-tidak-sengaja bisa terjadi dalam pecahan detik? Tentang seorang insinyiur dari institut terbaik negeri, yang muak dengan kehidupan Jakarta, melepaskan Mimpi Jakarta dan memilih Bali yang lebih bersahaja sebagai tempat berkreasi? Tentang anak manusia yang berani meninggalkan sebuah zona aman dan mengikuti kata Nietzsche untuk 'living the life out dangerously'?


Terakhir, apakah saya akan menulis tentang seekor kerbau yang kelak akan kehilangan sawah jika tidak ada lagi anak bangsa, khususnya di Bali, yang mau memilih profesi sebagai petani? Apakah tentang kerbau yang akan kehilangan sawah dan memilih berendam di sebuah kubangan di Pantai Lebih? Apakah tentang duka petani, tentang mereka yang mengejar matahari untuk menciptakan lanskap hijau nan indah lalu secara gratis dijual sebagai nilai tambah bisnis parawisata? Tentang wisatawan yang santai meminum bir sambil mengagumi kebesaran Tuhan, lalu membekukan keindahan tersebut dengan lapisan bawah sadar bernama 'luka dan ketidak-adilan'?

The camera introduces us to unconscious optics as does psychoanalysis to unconscious impulses. (Walter Benjamin)

Come on, saya masih buntu, ide apa yang akan saya sampaikan lewat tulisan ini? Kenapa pula setelah belasan lagu dan hingga kini The Requiem-nya Homicide mengalun, yang saya tuliskan hanyalah pertanyaan-pertanyaan gloomy?

Ah, tulisan tentang kebuntuan menulis ini harus diakhiri dengan baris yang positif:
Hidup itu indah, dan kita sama-sama tahu, suka dan duka adalah dua sejoli.
Tetap bersyukur, jauhi bunuh diri... #apasih?

*) info ini saya dapatkan hari ini dari kultwitnya @hotradero

Thursday, May 19, 2011

Dalam 5 tahun, lihatlah apa yang terjadi...

Lima tahun sudah saya biarkan blog ini tanpa juntrungan, dengan maksud awal: menulis. Lima tahun pula blog ini seolah seorang Lazarus yang akhirnya dibangkitkan dari kematian.
Merujuk Orde Baru, 5 tahun adalah sebuah periode bernama 'Pelita'. Dan memang, betapa banyaknya 'pembangunan' yang terjadi dalam diri saya sejak 160606 (wow ada triple six-nya!), ketika web log ini tercipta.

Apa yang terjadi dalam 5 tahun itu? Mari kita lihat satu-persatu sesuai apa yang saya ingat:
1. Pada tahun 2006, blogspot belum terintegrasi dengan gmail. Saat itu saya masih menggunakan email yahoo untuk meng-create account. Ketika hari ini blog ini saya remajakan, saya dituntut oleh coding system untuk menggunakan akun gmail.
2. 2006, saya masih berstatus sebagai satu dari jutaan Jakartans yang harus berkutat dengan problematika kota itu.
3. 2006, saya tidak tahu apa-apa tentang fotografi. Saya sekarang mendapat kesempatan untuk bisa merekam realita sebagai gambar yang selanjutnya menjadi header blog ini.
4. 2006, kurang lebih tiga bulan kemudian sejak posting terakhir saya jelang 'sekarat menulis', terjadilah peristiwa berjudul 'Tragedi Lumpur Lapindo'.
5. 2006, satu-satunya Adik Perempuan saya masih bernafas di bumi ciptaan Tuhan yang indah ini. How are you, Dear Sister? :)
6. Dua tahun setelah lahirnya blog ini, saya memasukkan diri saya ke dalam database twitter dan facebook. Selanjutnya sebagaimana sama-sama kita ketahui social media menggeliat hebat. Bahkan bisa memicu revolusi di Libya.
7. Sistem Operasi Android besutan google belum dilempar ke pasar di tahun 2006. Blackberry juga belum menciptakan fenomena eksistensi manusia yang aneh, semisal 2 orang bertemu dan mengada di ruang yang sama, namun seringkali pula keduanya menunduk menatap layar mencoba mengada di suatu tempat yang lain.
8. Sebulan sebelum saya memutuskan membuat blog ini di tahun 2006, Jogjakarta digoyang gempa hebat.
9. 2 tahun sejak 2004, Pak Beye memenangi Pilpres, memerintah dalam periode pertamanya sebagai presiden.
10. Di penghujung tahun kelima dalam periode ini, betapa bersyukurnya saya, aliran waktu dan kejadian telah meruangkan saya dan salah-satu penulis besar negara ini (yang saya kagumi), ke dalam sebuah kafe untuk sekedar menikmati kopi. Dua kali!
11. et cetera...et cetera...

Sebagai pembaca filsafat yang tak lagi intens, saat ini saya tidak begitu percaya diri dalam hal mencaplok Dialektika Hegelian untuk bisa membacot tentang aliran peristiwa dan kejadian yang saya maksud, tentang mengada-nya eksistensi saya yang ajaib ini.

Ini adalah posting pertama dimasa setelah peremajaan, saya maksudkan sebagai kulonuwun. Semacam ucapan selamat datang kembali kepada diri saya ke dalam dunia tulis-menulis, curhat-ke-curhat. Syukur-syukur bisa menjadi semacam comeback pasca cedera ala Ramsey di Arsenal; langsung menjaringkan bola ke gawang mengatasi kemandulan, menghalau writer's block yang kerap menjadi alasan dan pembenaran saya selama bertahun-tahun. Saya akan mencoba menulis kembali. Menulis apa saja yang terlintas dibenak mengatasi ilusi kerak-kerak obsesi akan kesempurnaan menulis. Tentunya dengan diksi yang saya ketahui dalam menjurnal kehidupan saya.

Waktu, ya, waktu...walau cuma sepotong persepsi, tetap penting sebagai penanda eksistensi.
Waktu, yang harus selalu saya syukuri manakala saya berada di dalam linimasa terberi.

Mari menulis dan bersyukur. It's good to be alive. Jauhi bunuh diri.

Amin.

P.S. Posting ini sekaligus menjadi semacam tribute untuk teman saya yang belum sempat saya temui secara fisik, namun banyak memberi wawasan baik wacana maupun praktek fotografi di ruang-ruang online. RIP, Victor Lumunon. Selamat jalan, Kawan.