"Hidup haruslah tersenyum", kata kakek tersenyum.
Pernah saya nekat ingin mencoba ngelmu kepada Om saya yang tinggal di Wonosobo. Saya siap dengan syarat-syaratnya semisal puasa dan sebagainya. Tapi beliau cuma menganjurkan saya untuk banyak-banyak tersenyum. Saya sempat sepele. Tapi ternyata itu adalah level pelajaran yang sulit.
Dan malam ini dari rak buku saya yang berdebu, saya temukan sepotong affirmasi tentang betapa hebatnya 'senyum'. Saya ketikkan dan saya publikasikan dengan menimbang betapa indahnya ini untuk dibagikan. Terimakasih SCB, mohon izin sebelumnya, Pak!
SENYUMLAH PADA BUMI
Cerpen oleh Sutardji Calzoum Bachri
*(dari kumpulan cerpen 'Hujan Menulis Ayam')
"Jadi, kau minta berhenti karena mereka tak lagi bisa tersenyum?" kata ayah, menggelengkan kepala.
Kalau mereka tidak bisa lagi membayarkan kuitansi dari apotik untuk obat-obatku, itu tak jadi soal.
Mereka memang tidak mampu. Perusahaan sudah makin gawat, hampir bangkrut. Aku tahu. Mereka mengerutkan kening melihat kuitansi. Terlalu mahal, kata mereka. Perusahaan tidak bisa membayar, kata gadis bagian keuangan, mengernyitkan kening. Mengapa mereka tidak tersenyum, atau ketawa saja ha ha ha menolak kuitansi itu?
"Nah masa depanmu akan menjadi gelap mulai sekarang," kata ayah, muram.
Kakek menggoyang-goyang tubuhnya di kursi malas, menghembus pipanya, tersenyum ke langit-langit dan jendela.
"Hidup haruslah tersenyum," kata kakek tersenyum.
Kakek sudah lama hidup dan selalu senyum dan ayah sering menjadi gusar karenanya.
"Hidup haruslah tersenyum," kata kakek sekali lagi, tersenyum sambil mengisap pipanya dalam-dalam. Ayah merasa tersindir, mengernyitkan kening dan pergi ke ruang dalam.
"Sulitnya manusia, mereka payah senyum. Mereka hidup mengernyitkan kening kepada angan-angan, mimpi, keringat, dan entah apa saja. Itulah sebabnya mereka tidak sering senyum. Dan kalaupun mereka tersenyum, mereka tersenyum pada sesuatu yang tak lagi memerlukan senyum," kata kakek.
Kakek telah begitu sering tersenyum sehingga keriput di mukanya tidak bisa mengukir senyum. Waktu muda, tertawa-tawa memeluk bir atau champagne dan gadis-gadis, kakek tersenyum sepanjang jalan-jalan Marseille, Barcelona, Singapura, Hongkong, Yokohama. Kakek tersenyum duit kakek juga tersenyum dan gadis-gadis senang pada duit yang tersenyum dan mereka tersenyum mencium dan memeluk kakek yang tersenyum dan mereka mencium dan memeluk duit yang tersenyum.
Kakek tersenyum di laut. Menarik jangkar yang macet mesin tariknya. Telapak tangan kakek lecet dan banyak mengeluarkan darah, tapi kakek tersenyum dan bernyanyi-nyanyi mengecat kapal. Ketika teman kakek jatuh ke laut kakek tersenyum-senyum membiarkannya. Setelah nyawanya benar-benar tinggal sekarat kakek terjun ke laut dan mengangkatnya ke geladak dengan tersenyum. Sekali ketika kapal dipukul topan dan tidak mungkin ada harapan, kapten memerintahkan semua meninggalkan kapal. Kakek tersenyum membiarkan teman-temannya berebut sekoci. Akhirnya hanya kapten dan kakek saja yang masih di kapal. Kapten jadi gusar dan senang karena kakek masih terus tersenyum. Dan kapten menolak kakek dengan pelampung ke laut.
"Senyumlah pada gadis-gadis pada daratan pada kota-kota pada bumi pada laut pada kapal yang membawamu," kata kakek padaku, suatu waktu.
Aku mengangguk. Dan menggeleng dalam hati, tidak mengerti mengapa orang harus tersenyum, sering senyum dan semacamnya, ketika itu kau tak yakin dan belum tahu.
Tapi, di kantor ketika bos sudah sebulan tidak lagi tersenyum dan hanya mengernyitkan keningnya melamun lewat jendela, wakil bos sudah tidak pernah lagi ketawa dan kelihatan sungguh-sungguh dan menciut, dan ketika aku sodorkan kuitansi itu mereka tidak dapat membayar meskipun dengan senyum, tahulah aku bahwa orang terlalu mengerutkan kening dan badannya karena angan-angan yang patah, mengepalkan tinju dan menekankan geraham karena kesulitan dan menjadi lebih sulit karena itu. Alangkah baiknya kalau mereka menolak kuitansi itu dengan senyum atau tawa, atau gadis bagian keuangan yang manis itu berjingkrak-jingkrak sedikit sambil tersenyum atau tertawa seperti dulu sering mereka lakukan waktu perusahaan masih dapat kredit dari bank, mereka tersenyum dan tertawa-tawa menghabiskannya. Mengapa mereka tidak terus saja tersenyum dan tertawa sampai perusahaan menjual habis harta inventaris, sampai yang tinggal hanya senyum dan tawa sampai perusahaan hanya memperdagangkan senyum dan tawa? Tentu sampai mampus aku takkan minta berhenti.
Matahari mulai menunjukkan panasnya di luar. Dan aku menolong kakek mengangkat kursi malas ke pekarangan belakang.
"Senyumlah kau. Senyumlah selalu pada hidup pada bumi pada langit. Senyumlah selalu dan kau akan mendapatkan sesuatu," kata kakek sambil mengiringi aku dan mengepulkan asap pipanya ke langit dan tersenyum.
Di Barcelona kakek tersenyum pada Adelita dan dapat Isabella. Di Marseille kakek tersenyum pada Francoise dan dapat Helene. Di Yokohama kakek tersenyum pada Michiko, Hiroko dan dapat Kumiko. Di Rotterdam kakek tersenyum-senyum pada polisi dan dapat tinju, seperai putih, kasur empuk, dan istirahat seminggu di rumah sakit dengan tanggungan perusahaan kapal tempat kakek bekerja.
"Selalulah senyum, kau akan dapat sesuatu meskipun tidak selalu tepat seperti yang kau inginkan," kata kakek.
Jika matahari pagi mulai panas kakek senang duduk-duduk di pekarangan belakang, di kursi malasnya, di bawah rimbun pepohonan jambu dan mangga. Anak-anak SD yang pergi dan pulang sekolah sering singgah dulu di pekarangan. kakek memberi mereka dongeng-dongeng tentang laut, kapal, Marseille dengan tersenyum sambil mengepulkan asap pipa dan menggoyang kursi malas dengan tubuhnya. Anak-anak itu sering dan senang membantu kakek menggoyang kursi malasnya. Mereka senang karena dongeng-dongeng kakek menyenangkan mereka. Mereka senang melihat tattoo-tattoo di lengan kakek dan tertawa-tawa pada perempuan telanjang yang telentang di situ. Kakek membiarkan mereka mengusap-usapnya dan mereka jadi heran mengapa gambar-gambar itu tidak bisa hapus. Kakek membiarkan mereka melempar jambu dan mangga. Ibu sangat kuatir kalau-kalau kakek kena timpa buah-buahan atau batu yang mereka lemparkan dan sering melarang mereka. Tapi, kakek terus tersenyum dan menceritakan Marseille atau kota-kota lainnya kepada mereka dan membiarkan mereka melempar buah-buahan dan sambil tersenyum melarang ibu melarang mereka.
Bocah-bocah itu senang pada kakek dan barangkali mereka mengira kakek adalah masa tua penuh senyum yang kelak menantikan mereka.***
No comments:
Post a Comment