Tuesday, May 24, 2011

Tulisan Tentang Kebuntuan Menulis

Pada kesempatan ini, pada mulanya adalah foto-foto. Bukan Firman, sebagaimana awal kitab Genesis. Sungguh, menulis masih merupakan hal yang berat untuk dilakukan saat ini. Oleh karenanya saya memutuskan untuk melakukan semacam 'challenge game' untuk memulai tulisan: 'dari ketiga foto berikut, apa yang bisa saya tuliskan?'.


Apakah tentang sebuah gubuk di atas sawah yang telah dikeringkan dan tanahnya siap dijual kepada investor-investor yang memiliki impian tentang sebuah villa di Ubud pasca Eat, Pray, and Love? Tentang pecahan 100 dollar yang mereka miliki, yang bahkan biaya cetak dan biaya produksinya tak lebih dari 20 sen dollar per lembarnya*? Terus-terang saya belum punya ide spesifik tentang tulisan saya, sementara lagu-lagu di playlist sudah mengalun silih berganti.


Apakah saya akan menuliskan tentang Pantai Lebih yang rentan mengalami abrasi? Tentang harga tanah yang anjlok akibat ancaman garis pantai yang perlahan mendekat ke jalan raya? Apakah tentang teman saya sesama pencinta fotografi, dengannya saya bersepakat bahwa keindahan dan keajaiban akibat komposisi dan presisi secara sengaja-tidak-sengaja bisa terjadi dalam pecahan detik? Tentang seorang insinyiur dari institut terbaik negeri, yang muak dengan kehidupan Jakarta, melepaskan Mimpi Jakarta dan memilih Bali yang lebih bersahaja sebagai tempat berkreasi? Tentang anak manusia yang berani meninggalkan sebuah zona aman dan mengikuti kata Nietzsche untuk 'living the life out dangerously'?


Terakhir, apakah saya akan menulis tentang seekor kerbau yang kelak akan kehilangan sawah jika tidak ada lagi anak bangsa, khususnya di Bali, yang mau memilih profesi sebagai petani? Apakah tentang kerbau yang akan kehilangan sawah dan memilih berendam di sebuah kubangan di Pantai Lebih? Apakah tentang duka petani, tentang mereka yang mengejar matahari untuk menciptakan lanskap hijau nan indah lalu secara gratis dijual sebagai nilai tambah bisnis parawisata? Tentang wisatawan yang santai meminum bir sambil mengagumi kebesaran Tuhan, lalu membekukan keindahan tersebut dengan lapisan bawah sadar bernama 'luka dan ketidak-adilan'?

The camera introduces us to unconscious optics as does psychoanalysis to unconscious impulses. (Walter Benjamin)

Come on, saya masih buntu, ide apa yang akan saya sampaikan lewat tulisan ini? Kenapa pula setelah belasan lagu dan hingga kini The Requiem-nya Homicide mengalun, yang saya tuliskan hanyalah pertanyaan-pertanyaan gloomy?

Ah, tulisan tentang kebuntuan menulis ini harus diakhiri dengan baris yang positif:
Hidup itu indah, dan kita sama-sama tahu, suka dan duka adalah dua sejoli.
Tetap bersyukur, jauhi bunuh diri... #apasih?

*) info ini saya dapatkan hari ini dari kultwitnya @hotradero

2 comments:

cassia vera said...

yayy.. buntu tapi udah 'bicara' banyak.. buntu cari jalan, trus masuk rumah orang, tapi jadi ngobrol ngalor ngidul.. hahaha :) apa kabar win? baru tau gw lu punya blogspot :p

Erwin said...

hehehe. kabar baik danti. iya ini blogspot baru aku aktifkan lagi setelah terakhir posting tahun 2006. :)